Penguatan Perlawanan Baris Depan untuk Melindungi Hutan dan HAM
Kertas yang Anda gunakan? Kaos berbahan rayon yang Anda pakai? Keduanya terbuat dari pohon. Setelah kampanye selama bertahun-tahun, beberapa perusahaan menyatakan komitmennya menghentikan kerusakan hutan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dari usaha mereka. Akan tetapi ratusan masyarakat masih menderita akibat dampak dari hutan dan lahan adat mereka dirampas dan dibuka untuk Hutan Tanaman Industri (HTI). Kini bersama kita menuntut lebih dari sekedar janji di atas kertas. [...]
Di Indonesia dan seluruh dunia, masyarakat baris depan terus melawan untuk mendapatkan tanahnya kembali, untuk melindungi hutannya, dan agar budaya dan hak mereka dihormati. Foto dan wawancara berikut diambil dari Pulau Sumatera, Indonesia, di Desa Lubuk Mandarsah, Op. Bolus dan Aek Lung. Desa-desa ini hanyalah sebagian kecil dari desa yang terkena dampak negatif dari kegiatan Asia Pulp & Paper (APP), APRIL, Toba Pulp Lestari (TPL), dan perusahaan lainnya yang telah mengadopsi kebijakan kuat yang seharusnya, jika diterapkan dengan benar, mampu melindungi masyarakat dan hutan.
Pengalaman yang dialami masyarakat ini merupakan ukuran nyata dari upaya perusahaan dalam menerapkan janjinya. Mari bergabung dengan kami belajar dari kisah mereka dan beraksi menuntut agar perusahaan merealisasikan janjinya bagi masyarakat baris depan!
“Kami mengharap kepada pemerintah supaya pemerintah dapat membebaskan tanah adat kami, supaya masyarakat dapat dengan tentram mengelola tanahnya, tidak ada lagi gangguan dari PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dan juga kepada produsen yang membeli dari PT TPL supaya produksi PT TPL jangan dibeli karena TPL adalah perampas tanah masyarakat ... PT TPL boleh dikatakan tidak pernah mensejahterakan masyarakat, hanya membuat penderitaan masyarakat.”
Lebih dari tiga dekade yang lalu, perusahaan pulp dan kertas raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah adat di wilayah Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia dari masyarakat adat tanpa izin masyarakat yang bersangkutan. PT TPL mengubah lahan masyarakat menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) penghasil bubur kertas atau pulp yang menjadi bahan baku berbagai bahan kain yang digunakan setiap hari seperti rayon, viscose dan modal.
“Kami memohon kepada pemerintah untuk melindungi kami dan melepaskan tanah adat kami ini kepada kami, karena tanah ini adalah kehidupan kami dan bekal menyekolahkan anak kami. Dan meminta Pemerintah mengakui tanah ini adalah tanah adat kami, supaya kami tidak takut lagi untuk bekerja di ladang kami sendiri.”
Lebih dari tiga dekade yang lalu, perusahaan pulp dan kertas raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah adat di wilayah Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia dari masyarakat adat tanpa izin masyarakat yang bersangkutan. PT TPL mengubah lahan masyarakat menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) penghasil bubur kertas atau pulp yang menjadi bahan baku berbagai bahan kain yang digunakan setiap hari seperti rayon, viscose dan modal.
“Tanah adat yang sudah kami kuasai itu harus balik dengan kami ... Kalau memang mau diselesaikan itu gampang sekali untuk menyelesaikan, kembalikan aja.”
Pada tahun 2013, Asia Pulp & Paper (APP), perusahaan bubuk kertas terbesar di Indonesia, merespon tekanan publik yang telah berlangsung bertahun-tahun mengenai sejarah perampasan lahan dan pelanggaran HAM oleh APP yang disertai janji-janji menyelesaikan konflik lahan bersama masyarakat. Sampai saat ini ada masih ada ratusan konflik masyarakat, seperti konflik yang terjadi di Desa Lubuk Mandarsah, yang belum diselesaikan.
“Pada saat kami mengusahai perladangan kami ini, PT TPL datang untuk menggangu kami bahkan dengan kekerasan. PT TPL mengancam saya dan mengatakan bahwa saya tidak dapat mengusahai perladangan kami ini, dan kalau saya tetap berkeras mengusahai perladangan ini, maka saya akan dihukum penjara ... tetapi yang saya tahu perladangan ini adalah milik kami sendiri, makanya saya mengusahai perladangan ini ... Kami tidak takut, kami tetap mengusahai dan bekerja di ladang kami, karena kami tau tanah ini adalah milik kami.”
Bagi masyarakat Aek Lung di Sumatera Utara, Indonesia, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan. Perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah adat masyarakat dan menebang hutan masyarakat untuk dijadikan perkebunan eukaliptus. Setelah PT TPL memanen tanaman eukaliptus, masyarakat kembali ke wilayah tersebut dan merebut lahannya kembali, kemudian menanaminya dengan tanaman pangan sebelum PT TPL dapat menanami kembali dengan tanaman perkebunan pulp monokultur.
Foto Kristina br Hutabarat menanen cabai di lahan masyarakat yang diambil kembali.
“PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah kami, jadi kami tinggalkan. Memang dari situ dasar hidup kami dulu, dulu aku masih berkebun di situ ... itu dirampas PT TPL. Jadi kami meminta ... tanah kami ini kembali sama kami, supaya ada identitas kami sama cucu-cucu kami semua.”
Bagi masyarakat Op.Bulus di Sumatera Utara, Indonesia, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan. Perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah adat masyarakat dan menebang hutan masyarakat untuk dijadikan perkebunan eukaliptus. Setelah PT TPL memanen tanaman eukaliptus, masyarakat kembali ke wilayah tersebut dan merebut lahannya kembali, kemudian menanaminya dengan tanaman pangan sebelum PT TPL dapat menanami kembali dengan tanaman perkebunan pulp monokultur.
“Kami siap sampai mati memperjuangkan tanah ini, karena tanah adalah sumber hidup kami.”
Dari generasi ke generasi, masyarakat adat Batak membudidayakan tanaman Styrax benzoin, suatu jenis pohon endemik, di hutan di tanah adat mereka dan menyadap getahnya secara berkelanjutan untuk diolah menjadi kemenyan. Bagi berbagai warga, praktik ini memiliki nilai budaya yang sangat penting dan merupakan sumber penghidupan utama mereka. Perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah merampas hutan kemenyan yang luas, membabatnya untuk dijadikan perkebunan eukaliptus, dan secara langsung mengancam mata pencaharian masyarakat secara luas.
Foto Op Grace Boru Siregar, di hutan kemenyan di tanah adatnya. Secara tradisional getah kemenyan dipanen oleh lelaki, namun Op Grace adalah salah satu dari sedikit perempuan yang menyadap getah kemenyan.
“Kalau masalah kerusakan lingkungan, ya terjadinya banyak. Bahkan di dusun kami sampai sekarang, semenjak ada penanaman akasia, mulai banyaknya nyamuk, kondisi lingkungannya tidak bersih lagi, kaya sungai-sungai sering dibuntu-buntu sama kegiatan APP. Jadi air itu mengalirnya tidak bagus lagi sampai ke sungai besar. Maka terjadi sampai sekarang kalau ada hujan itu, dari pagi sampai sore, positif terjadi banjir besar-besaran. Makanya kami, ya kalau bisa ... membersihkan sungai-sungai ataupun air bersih untuk warga kami.”
Sistem hidrologis seringkali terkena dampak HTI. Sebelumnya ekosistem hutan secara alami memfilter air bersih untuk masyarakat selama bertahun-tahun. Akan tetapi perkebunan monokultur menyerap lebih banyak air sehingga membuat tanah menjadi kering dan rawan terhadap erosi dan banjir.
“Kita berjuang untuk masa depan anak-anak kita ... Dan juga kita berjuang di lahan kita sendiri, di tanah adat kita sendiri. Seharusnya APP itu yang diprotes, dia yang ngabisin tanah masyarakat di sini.”
Sebagaimana banyak masyarakat lainnya, warga yang terkena dampak Hutan Tanaman Industri (HTI) memiliki mimpi berladang di lahannya sendiri, bercocok tanam untuk menyediakan pangan bagi keluarganya, dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Masyarakat menuntut perusahaan seperti Asia Pulp & Paper (APP) mematuhi hak-hak dasar atas martabat, tanah dan mata pencaharian.
“Pertama-tama kami berjuang untuk merebut kembali tanah adat kami yang selama ini telah diusahai PT Toba Pulp Lestari (TPL). Dan pada saat itu ... kami banyak mengalami perlawanan ataupun intimidasi dari pihak PT TPL. Mereka mau melarang kami dengan cara membawa senjata yang melibatkan aparat-aparat negara, kadang Brimob, kadang polisi. Tapi dengan demikian kami tidak merasa takut karena kami memang merasa kami memperjuangkan apa yang memang benar-benar hak kami.”
Pada tahun 2005, masyarakat adat Desa Aek Lung melakukan gerakan perlawanan untuk mendapatkan lahannya kembali dari perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL). Masyarakat kembali menanami tanaman pangan di lahan mereka setelah tanaman perusahaan dipanen.
Ini adalah foto getah kemenyan mentah. Dari generasi ke generasi, masyarakat adat Batak membudidayakan tanaman Styrax benzoin, suatu jenis pohon endemik, di hutan di tanah adat mereka dan menyadap getahnya secara berkelanjutan untuk diolah menjadi kemenyan. Bagi berbagai warga, praktik ini memiliki nilai budaya yang sangat penting dan merupakan sumber penghidupan utama mereka. Sejak perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas hutan kemenyan masyarakat untuk dijadikan perkebunan eukaliptus, banyak pohon kemenyan yang ditebang, sehingga secara langsung mengancam mata pencaharian masyarakat secara luas.
“Perasaan saya cukup seding melihat anak kita, Indra Pelani, dibunuh oleh Asia Pulp & Paper secara keji. ...Sampai kapanpun saya tidak memaafkan kalau masalah itu. Karena saya sudah merasa anak sendiri, sejak kecil saya memeliharanya. Sehingga seenak-enaknya saja seperti hewan dibikin orang perusahaan ... Pelakunya harus dihukum setimpal dengan perbuatanya.”
Indra Pelani, seorang aktivis dan petani berusia 23 tahun dari Lubuk Mandarsah, Jambi dikeroyok hingga tewas oleh petugas keamanan Asia Pulp & Paper (APP) pada tanggal 27 Februari 2015. Masyarakat Lubuk Mandarsah terus mengenang dan merasa kehilangan atas kematiannya yang tragis.
Foto oleh: Walhi Jambi
Danau Toba adalah danau vulkanik terbesar di dunia. Terletak di tengah Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, kawah vulkanik yang subur ini merupakan tempat tinggal masyarakat adat Batak yang telah menempati wilayah ini sejak lama. Keajaiban dunia ini yang mendukung kegiatan ekonomi turisme terancam oleh deforestasi dan polusi PT Toba Pulp Lestari (TPL).
"Tanah ini sudah ada sekitar 200 tahun lalu, mulai dari ke datangan leluhur kami ke tampat ini sudah ada 11 generasi di hitung sampai ke pada saya. Harapan kami, pemerintah memberi perhatian kepada kami, karena tanah adat ini adalah sumber hidup kami, dan bagi keturunan kami nantinya, supaya anak kami dapat kami sekolahkan dan sebagai sumber kehidupan bagi anak kami nantinya.”
Foto tetua di Desa Aek Lung
“Kita melihat mereka [Asia Pulp & Paper] sudah merusak dari komitmen itu. Katanya tanpa kekerasan ... dan menghormati hak-hak masyarakat. Nyatanya bisa kita buktikan dari proses setelah komitmen itu, masyarakat diintimidasi, dikriminalisasi, sampai terjadi pembunuhan.”
Sepuluh tahun yang lalu, Asia Pulp & Paper (APP) yang merupakan perusahaan pulp dan kertas terbesar di Indonesia, tiba di wilayah masyarakat Lubuk Mandarsah dan mengambil alih wilayah adat masyarakat tanpa izin masyarakat untuk membangun perkebunan pulp dan kertas atau Hutan Tanaman Industri (HTI). Sejak itu perusahaan berkonflik melawan masyarakat. Pada bulan Februari 2015, aktivis masyarakat dan petani Indra Pelani dibunuh secara kejam oleh petugas keamanan yang dipekerjakan oleh APP.
“Harapan kami sebagai petani, satu satunya, baik itu harapan kepada perusahaan. Tolonglah kami ini sebagai masyarakat diberi kesempatan untuk hidup mengolah tanahnya sendiri. Kami bukan untuk kaya, tetapi hanya untuk mempertahankan hidup dan untuk bekal anak cucu kami di kemudian hari ... Ayo kita satukan tekad, ayo kita satukan kekuatan karena petani kalau bersatu, saya yakin tidak ada yang tidak mungkin.”
Sejak 2003 saat APP pertama mengambil lahan masyarakat untuk perkebunannya, kelompok tani lokal dan regional telah berkumpul untuk mempersatukan petani dan menuntut agar perusahaan menghormati hak dan tanah adat masyarakat.
Bagi masyarakat di Lubuk Mandarsah di Jambi, Indonesia, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan. Asia Pulp & Paper (APP) merampas tanah adat masyarakat dan menebang ladang masyarakat untuk dijadikan perkebunan Eucalyptus. Setelah APP memanen tanaman Eucalyptus, masyarakat kembali ke wilayah tersebut dan merebut lahannya kembali, kemudian menanam tanaman mereka sendiri sebelum APP dapat menanami kembali dengan tanaman perkebunan monokultur untuk pulp dan kertas.
“Kemauan ibu-ibu di sini harusnya kita itu dapat lah. Kami itu kan dari mulai pertama, kami sudah memperjuangkannya ... Semoga ya, cepat konflik ini cepat selesai, kami pun biar senang. Pemikiran, biar jangan ada was-was, jangan ada takut. Karena kami ini, kalau bisa hidup matinya udah di sini lah ... Harus kita memperjuangkan sampai titik darah penghabisan, harus kami perjuangkan. Gimana lagi, karena kita udah terlanjur melangkah, ngapain kita mundur? Ibaratkannya ludah, kita ludahkan ngapain kita jilat lagi? Seharusnya, ya udah kita laju, ya terus. Sampai lahan ini ... bebas dari semuanya ini, udah hak milik kami.”
Para perempuan terlibat aktif melawan perampasan lahan oleh perusahaan HTI. Perempuan memiliki peran penting dalam membuat keputusan, bertani di lahan yang telah mereka rebut kembali, dan dalam memulihkan kondisi masyarakat.
“PT Toba Pulp Lestari (TPL) dengan konsep paradigma barunya, itu realitasnya tidak ada di lapangan. Jadi konsep paradigma baru dengan melibatkan masyarakat atau juga menghargai hak-hak masyarakat, itu hanya ada di atas kertas. Kenapa saya katakan begitu? Karena memang semakin tahun konflik itu semakin bertambah, khusunya yang saat ini didampingi KSPPM itu ada 19 kasus yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat yang ada di tanah Batak.”
Perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) membangun pabrik pulp di dekat pemukiman masyarakat di Danau Toba pada awal tahun 1980an untuk mengolah kayu menjadi bubur kertas atau pulp untuk kertas dan kain. Akan tetapi para pemilik tanah adat tidak pernah memberikan persetujuan atas dasar informasi di awal dan tanpa paksaan, ataupun mendapatkan kompensasi atas lahan di mana PT TPL membangun pabriknya. Limpasan air akibat polusi dari pabrik mengalir ke sumber air setempat dan telah mengakibatkan penyakit di masyarakat sekitar selama 30 tahun terakhir. Polusi udara dan bau dari pabrik mempengaruhi ribuan warga yang tinggal di sekitar pabrik.
“Saya memperjuangkan tanah adat kami. Tidak ada tanah lain yang dapat saya usahai lagi selain tanah ini sendiri demi kebutuhan hidup keluarga kami dan menyekolahkan anak saya. Kami berharap kepada Pemerintah supaya memberi perhatian kepada kami, supaya tanah adat kami ini kembali kepada kami, dan kami dapat menyekolahkan anak kami, dan kepada PT TPL supaya jangan menganggu kami lagi.”
Lebih dari 30 tahun yang lalu, lahan masyarakat adat diambil dan diberikan kepada perusahaan pulp dan kertas. Hingga saat ini banyak masyarakat adat Batak terus menuntut pemerintah dan perusahaan mengembalikan tanah adat mereka yang erat kaitannya dengan keberlanjutan budaya masyarakat.
“Tanah ini adalah hidup kami dan keturunan kami nantinya. Kami mengkampanyekan supaya produk-produk dari PT Toba Pulp Lestari (TPL) tidak dibeli karena PT TPL telah merampas hak kami, merampas tanah adat kami.”
Bagi masyarakat Aek Lung di Sumatera Utara, Indonesia, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan. Perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah masyarakat dan menebang hutan masyarakat untuk dijadikan perkebunan eukaliptus. Setelah PT TPL memanen tanaman eukaliptus, masyarakat kembali ke wilayah tersebut dan merebut lahannya kembali, kemudian menanaminya dengan tanaman pangan sebelum PT TPL dapat menanami kembali dengan tanaman perkebunan pulp monokultur.
“Ada pembukaan jalan yang disampaikan oleh kontraktor perusahaan, alasannya untuk membuka atau mengangkut kayu-kayu yang mereka kelola. Tetapi setelah jalan dibuka, malah lahan-lahan masyarakat yang digusur, malah peladangan-peladangan masyarakat yang digusur. Dampaknya begitu nyata sampai pada eksistensi terhadap wilayah kelola mereka, tanaman mereka, itu habis ditumbang oleh perusahaan. Saya melihat hadirnya APP di situ malah menghilangkan tatanan sosial masyarakat, menghilangkan identitas masyarakat terhadap pertanian-pertanian masyarakat sendiri.”
Truk besar melalui perkampungan masyarakat secara rutin untuk mengangkut kayu hasil panen dari HTI. Truk tersebut melaju cepat di jalan dan membahayakan warga yang berjalan kaki atau mengendarai sepeda motor.
Bagikan cerita ini
“Hutan adat yang kami kelola saat ini sudah kami kelola semenjak jaman penjajahan Belanda. Hingga saat ini hukum adat yang diwariskan leluhur kepada kami masih kami pergunakan. Tanah adat adalah tuduh anak tuduh tuduh tano, yang pengertiannya adalah ‘tanah adalah titipan dari keturunan kita kepada kita’, untuk itu mari kita jaga tanah adat kita supaya kemudian hari tanah adat juga dapat diusahai dan dijaga keturunan kita. Tanah adalah kehidupan kita.”
Lebih dari 30 tahun yang lalu, lahan masyarakat adat diambil dan diberikan kepada perusahaan pulp dan kertas dengan janji bahwa suatu hari lahan tersebut akan dikembalikan. Hingga saat ini banyak masyarakat adat Batak terus menuntut pemerintah dan perusahaan mengembalikan tanah adat mereka yang erat kaitannya dengan keberlanjutan budaya masyarakat.
“Kami memperjuangkan tanah adat kami ... kami akan terus memperjuangkan tanah adat kami ini, tetapi belum ada hasil yang kami dapatkan dan kami menginginkan tanah adat kami kembali kepada kami supaya dapat kami kelola kembali.”
Dari generasi ke generasi, masyarakat adat Batak membudidayakan tanaman Styrax benzoin, suatu jenis pohon endemik, di hutan di tanah adat mereka dan menyadap getahnya secara berkelanjutan untuk diolah menjadi kemenyan. Bagi berbagai warga, praktik ini memiliki nilai budaya yang sangat penting dan merupakan sumber penghidupan utama mereka. Perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) telah merampas hutan kemenyan yang luas, membabatnya untuk dijadikan perkebunan eukaliptus, dan secara langsung mengancam mata pencaharian masyarakat secara luas.
“Setelah pohon ditebang dan digantikan dengan eukaliptus, hasil dari kemenyan mulai berkurang dan lama-kelamaan kami pun tidak menyadap getah kemenyan lagi karena ditakut-takuti oleh pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL). Permintaan kami ... supaya kami dapat bekerja di lahan kami, untuk mencukupi kebutuhan hidup kami, dan menyekolahkan anak kami.”
Dari generasi ke generasi, masyarakat adat Batak membudidayakan tanaman Styrax benzoin, suatu jenis pohon endemik, di hutan di tanah adat mereka dan menyadap getahnya secara berkelanjutan untuk diolah menjadi kemenyan. Bagi berbagai warga, praktik ini memiliki nilai budaya yang sangat penting dan merupakan sumber penghidupan utama mereka. Sejak perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas hutan kemenyan masyarakat untuk dijadikan perkebunan eukaliptus, banyak pohon kemenyan yang ditebang, sehingga secara langsung mengancam mata pencaharian masyarakat secara luas.
Foto Ternadi Simanjuntak dengan semai pohon kemenyan yang siap ditanam di hutan.
Pada suatu hari PT Toba Pulp Lestari (TPL) datang menjumpai dan memarahi kami pada saat kami bekerja di ladang ini, dan mengatakan supaya kami tidak mengusahai tanah ini, dan tanah ini bukan milik kami. Saya pun menjawab bahwa kami bekerja di tanah kami, tanah dari leluhur kami dan bukan tanah milik PT TPL. PT TPL mengancam dan mengatakan, kalau kamu tetap mengusahai perladangan ini, kamu akan saya laporkan ke kepolisian dan memenjarakan kamu. Dan saya pun menjawab, kita akan melihat siapa yang benar, dan Tuhanlah yang tahu siapa sebenarnya yang mempunyai hak kepemilikan tanah ini.”
Pak Simamora ditahan ADD DATE dengan tuduhan palsu di bawah arahan dari perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL). Masyarakat merespon dengan berunjuk rasa di kantor polisi setempat. PT TPL menggunakan taktik intimidasi dan kriminalisasi untuk melawan masyarakat, termasuk ancaman dari aparat kepolisian dan militer, menebang tanaman pertanian, membakar pondok di ladang, dan menahan petani.
Kami mohon perkataan dan ucapan ... itu menjadi kenyataan. Karena tanah adat kami ini adalah memang sumber kehidupan untuk para anak-anak dan keturunan kami ... untuk tempat tinggal pun kami sudah berdesak desakan. Pada nantinya tanah adat kami ini akan dipakai untuk keberlanjutan generasi-generasi pomparan Ama Raja Medang yang berjuang memperjuangkan tanah adat kami.”
Foto tetua desa dan cucunya di Aek Lung
Kami adalah pewaris tanah adat ini. Kami tahu perladangan ini adalah warisan dari leluhur kami sendiri, dan kami adalah keturunannya, Karena kami tahu tanah ini adalah warisan dari leluhur kami, makanya kami bertani disini supaya ada sumber kehidupan kami dan menyekolahkan anak kami.”
Bagi masyarakat Aek Lung di Sumatera Utara, Indonesia, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan. Perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah adat masyarakat dan menebang hutan masyarakat untuk dijadikan perkebunan eukaliptus. Setelah PT TPL memanen tanaman eukaliptus, masyarakat kembali ke wilayah tersebut dan merebut lahannya kembali, kemudian menanaminya dengan tanaman pangan sebelum PT TPL dapat menanami kembali dengan tanaman perkebunan pulp monokultur.
Komitmen yang dicanangkan Asia Pulp & Paper (APP) di bulan Februari tahun 2013, itu ternyata menarik perhatian dunia, tetapi ... perusahaan yang sudah berlumuran darah, dan berbagai konflik di berbagai tempat ... Perusahaan-perusahaan yang sudah berkomitmen itu harus menghormati masyarakat adat dan memastikan tanah masyarakat, kemudian menyelesaikan konflik. Tapi yang terpenting adalah memastikan bahwa proses-proses itu dilakukan secara fair, dan masyarakat bisa mendapat akses terhadap tanah yang selama ini mereka klaim sebagai wilayah adat mereka.”
Pada tahun 2013, Asia Pulp & Paper (APP) merespon tekanan publik yang telah berlangsung bertahun-tahun mengenai sejarah perampasan lahan dan pelanggaran HAM oleh APP dan berjanji akan menyelesaikan konflik lahan bersama masyarakat. Sampai saat ini ada masih ada ratusan konflik masyarakat, seperti konflik yang terjadi di Lubuk Mandarsah, yang belum diselesaikan.
“Kami memohon kepada Pemerintah Indonesia supaya PT TPL mengembalikan tanah adat kami yang dikuasai oleh PT TPL sebanyak 2000 hektar , karena tanah adalah hidup kami, dan tanah adat Nagasaribu adalah daging dari leluhur kami sendiri.”
Lebih dari 30 tahun yang lalu, lahan masyarakat adat diambil dan diberikan kepada perusahaan pulp dan kertas dengan janji bahwa suatu hari lahan tersebut akan dikembalikan. Hingga saat ini banyak masyarakat adat Batak terus menuntut pemerintah dan perusahaan mengembalikan tanah adat mereka yang erat kaitannya dengan keberlanjutan budaya masyarakat.
“Masyarakat sudah sejak lama berdomisili di sana, masyarakat punya sistem dan tata cara dalam merebut dan dalam mengelola wilayah kelola mereka ... Jangan sampai misalnya, kesepakatan atau komitmen yang dibuat Asia Pulp & Paper (APP) itu tidak terjadi di lapangan. Saya melihat itu belum berjalan dengan baik di lapangan. Saya sepakat apa yang dikatakan oleh petani, petani ini kan butuhnya untuk kehidupan, butuh lahan.”
Pada tahun 2013, Asia Pulp & Paper (APP) merespon tekanan publik yang telah berlangsung bertahun-tahun mengenai sejarah perampasan lahan dan pelanggaran HAM oleh APP yang disertai janji-janji menyelesaikan konflik lahan bersama masyarakat. Sampai saat ini ada masih ada ratusan konflik masyarakat, seperti konflik yang terjadi di Lubuk Mandarsah, yang belum diselesaikan.
“Masyarakat mungkin punya keyakinan bahwa ini hak mereka, sehingga walaupun dukungan dari pihak pemerintah, pihak kepolisian dan lain sebagainya sama sekali belum ada. Makanya masyarakat punya inisiatif menduduki lahan di sini, hanya untuk mempertahankan hidup. Karena yakin bahwa ini hak mereka ... Maka dari itu masyarakat di sini, khususnya kaum tani, yakin, kaum tani kalau tidak punya tanah tidak mungkin bisa hidup. Maka dari itu sama aja kalau berjuang mempertahankan tanah, sama aja dengan mempertahankan hidup.”
Bagi masyarakat di Lubuk Mandarsah, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan. Beberapa tahun yang lalu, Asia Pulp & Paper (APP) merampas tanah adat masyarakat dan menebang ladang masyarakat untuk dijadikan perkebunan Eucalyptus. Setelah APP memanen tanaman Eucalyptus, masyarakat kembali ke wilayah tersebut dan merebut lahannya kembali, kemudian menanam tanaman pangan sebelum APP dapat menanami kembali dengan tanaman perkebunan monokultur untuk pulp dan kertas.
“Kami berjuang di sini, karena orangtua kami dulu bebas buka lahan di sini untuk mencari hidup, untuk menanam padi, seperti karet, pokoknya untuk hidup kami sehari-hari. Kalau dulu kan, di tanah adat ini nggak ada hambatan apapun, sejak datangnya PT Asia Pulp & Paper (APP), kami itu dapat kesulitan terus, dihambati terus. Sehingga setiap kami mau nanam-nanam, mau buka lahan di sini, didatangi oleh aparat, yaitu suruhan dari APP ... Sehingga kami kesulitan menanam-nanam di sini, untuk hidup di sini, karena gangguan-gangguan yang tak henti-hentinya, mau itu siang, mau itu malam, ada saja yang datang ... Sampai kami membersihkan lahan, di datangi lagi, yang gubuk yang dibongkar, terus ada yang dibakar. Sehingga kami bertahan terus sampai sekarang, entah kapan kami suksesnya, entah kapan kami berhasilnya, pokoknya kami berjuang terus sampai kapan-pun.”
Masyarakat secara rutin menghadapi intimidasi dan pelecehan oleh petugas keamanan Asia Pulp & Paper (APP) saat sedang berladang di lahannya yang telah mereka ambil dari perkebunan perusahaan.
“Kami mendirikan 15 pondok beratapkan lalang di lahan itu, kemudian PT Toba Pulp Lestari (TPL) membakarnya, tetapi kami sepakat bersama tidak akan pernah mundur dari perjuangan ini, sampai tanah adat kami kembali untuk kami kelola bersama, sampai saat ini kami terus mengadakan perlawanan kepada PT TPL. Tanah adat yang di wariskan leluhur kepada kami, harus kami jaga dan pertahankan. Ditembak mati sekalipun saya siap.”
Pada tahun 2005, masyarakat adat Desa Aek Lung melakukan gerakan perlawanan untuk mendapatkan lahannya kembali dari perusahaan pulp raksasa PT Toba Pulp Lestari (TPL). Masyarakat kembali menanami tanaman pangan di lahan mereka setelah tanaman perusahaan dipanen. PT TPL merespon dengan menggunakan taktik intimidasi dan kriminalisasi masyarakat, termasuk: ancaman dari aparat kepolisian dan militer, menebang tanaman pertanian, membakar pondok di ladang, dan menahan petani.
“Indra Pelani itu pejuang agraria yang pas. Dia lebih mengetahui tentang permasalahan Desa Lubuk Mandarsah ini dan Asia Pulp & Paper. Permasalahan itu satu contoh, seperti TNI kemarin masuk, menghadang anggota bekerja, seperti petani. Dia membawa TNI, begitu TNI itu masuk, Indra ini mengecek wilayah perbatasan kerja dia tapi tidak ada di Lubuk Mandarsah.”
Indra Pelani, seorang aktivis dan petani berusia 23 tahun dari Desa Lubuk Mandarsah, Jambi, diculik, diikat dan dipukuli dengan kejam hingga tewas oleh petugas keamanan Asia Pulp & Paper (APP) pada tanggal 27 Februari 2015. Jenazahnya ditemukan di tepi jalan pada keesokan harinya. Tujuh petugas keamanan menyerahkan diri ke polisi setelah kejadian tersebut. Masyarakat Lubuk Mandarsah terus mengenang dan merasa kehilangan atas kematiannya yang tragis.
“Jadi harapan kita kepada pemerintah Indonesia, segera akui hak-hak masyarakat adat agar mereka dapat mengelola kembali tanah adatnya. Khusus bagi orang Batak, tanah adat adalah identitas bagi mereka, identitas marga mereka, kalau tanah adat mereka hilang, artinya marga mereka akan hilang, generasi mereka akan hilang.”
Lebih dari 30 tahun yang lalu, lahan masyarakat adat diambil dan diberikan kepada perusahaan pulp dan kertas dengan janji bahwa suatu hari lahan tersebut akan dikembalikan. Hingga saat ini banyak masyarakat adat Batak terus menuntut pemerintah dan perusahaan mengembalikan tanah adat mereka yang erat kaitannya dengan keberlanjutan budaya masyarakat.
Foto masyarakat adat Batak di Nagasaribu.
“Kalau memang suami berjuang, ibu-ibunya harus ikut berjuang, seperti saya sekarang ini. Sedangkan saya datang hujan, kehujanan. Datang panas, kepanasan. Saya mau berjuang di sini dengan anak-anak saya. Saya ini sebenarnya korban perasaan di sini sudah dibuat APP ini. Memang korban nyawa tidak, cukuplah anak kami Indra Pelani.”
Indra Pelani, seorang aktivis dan petani berusia 23 tahun dari Lubuk Mandarsah, Jambi dipukuli hingga tewas oleh petugas keamanan Asia Pulp & Paper (APP) pada tanggal 27 Februari 2015. Masyarakat Lubuk Mandarsah terus mengenang dan merasa kehilangan atas kematiannya yang tragis.
Foto ini menunjukkan Hutan Tanaman Industri (HTI) perusahaan pulp dan kertas raksasa PT Asia Pulp & Paper (APP) di Semenanjung Kampar di Sumatera. Pada tahun 2002, wilayah ini merupakan hutan alami dan lahan gambut yang kaya akan karbon, salah satu wilayah penyerap karbon terluas di dunia perkebunan ini. Saat ini PT APP telah mengeringkan dan membuka lebih dari 52.000 hektar hutan dan lahan gambut di wilayah semenanjung.
Lahan gambut dapat menyimpan karbon dalam jumlah banyak, tetapi jika lahan gambut dikeringkan dan dibakar untuk perkebunan monokultur maka akan melepaskan polusi karbon besar-besaran ke dalam atmosfer, dan mempercepat perubahan iklim. Deforestasi dan pembakaran lahan gambut terus menyebabkan Indonesia menjadi salah satu penyebab polusi iklim terbesar di dunia.
Foto oleh: Wetlands International
“Kami merasakan di sini, wilayah kami, wilayah tanah adat. Jadi, walaupun macam mana pihak Asia Pulp & Paper untuk melarang kami, kami tetap tidak akan mundur ... Kami berjuang di sini, berladang di sini, PT,APP itu harus menurut aturan masyarakat di sini. Kami ingin damai, ingin tentram, tidak mau kami diganggu ganggu oleh PT, nggak mau lagi. Cukup lah, batas ini. Jangan diganggu lagi untuk ke depannya.”
Para perempuan terlibat aktif melawan perampasan lahan oleh perusahaan HTI. Perempuan memiliki peran penting dalam membuat keputusan, bertani di lahan yang telah mereka rebut kembali, dan dalam memulihkan kondisi masyarakat.
“Kami terus berjuang, seperti menanam pisang, menanam padi, karet dan sebagainya ... Kami cuma bisa melawannya seperti menanam palawija.”
Bagi masyarakat di Lubuk Mandarsah di Jambi, Indonesia, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan. Pada tahun 2003, Asia Pulp & Paper (APP) merampas tanah adat masyarakat dan menebang ladang masyarakat untuk dijadikan perkebunan Eucalyptus. Setelah APP memanen tanaman Eucalyptus, masyarakat kembali ke wilayah tersebut dan merebut lahannya kembali, kemudian menanam tanaman pangan sebelum APP dapat menanami kembali dengan tanaman perkebunan monokultur untuk pulp dan kertas.
Foto: Pakde Prayitno membawa pisang
“PT Toba Pulp Lestari (TPL) datang [ke wilayah kami] menanami pohon eukaliptus, setelah 6 tahun eukaliptus ditebang untuk dipanen, masyarakat adat bergerak bersama berjuang melawan ... Itulah awal dari perjuangan kami mempertahankan tanah adat kami yang dikuasai PT TPL, perjuangan kami masih tetap sampai sekarang , dan sudah ada sekitar 10 tahun kami melawan PT TPL.”
Lebih dari tiga dekade yang lalu PT Toba Pulp Lestari (TPL) merampas tanah adat di wilayah Danau Toba, Sumatera Utara, Indonesia dari masyarakat adat tanpa izin masyarakat yang bersangkutan. PT TPL mengubah lahan masyarakat menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) penghasil bubur kertas atau pulp yang menjadi bahan baku berbagai bahan kain yang digunakan setiap hari seperti rayon, viscose dan modal. Foto ini adalah dari perkebunan HTI PT TPL yang membentang luas.
Lubuk Mandarsah adalah suatu desa di Provinsi Jambi, Indonesia. Selama beberapa generasi, masyarakat seperti yang terdapat di desa ini bergantung pada lahan dan lingkungannya yang sehat untuk keberlanjutan hidupnya, karena lahan dan lingkungan menyediakan pangan, air bersih dan mata pencaharian. Menjaga keberadaan hutan dunia penting sebagai penyimpan dan penyerap karbon dari atmosfer, dan dengan demikian membantu menghindari terjadinya dampak terburuk dari perubahan iklim. Dengan adanya 20% hutan dunia di wilayah adat, maka perlindungan lingkungan menjadi erat kaitannya dengan hak asasi manusia.
“Dari sejak dulu tanah ini milik leluhur kami. Kami datang untuk berladang, tetapi pihak PT Toba Pulp Lestari (TPL) selalu menakut-nakuti kami. Kami meminta dan memohon kepada pemerintah kami supaya tanah adat kami ini di lepaskan, supaya dapat kami kerjakan kembali dan kami dapat memenuhi kebutuhan hidup kami dan keturunan kami nantinya.”
Lebih dari 30 tahun yang lalu, lahan masyarakat adat diambil dan diberikan kepada perusahaan pulp dan kertas dengan janji bahwa suatu hari lahan tersebut akan dikembalikan. Hingga saat ini banyak masyarakat adat Batak terus menuntut pemerintah dan perusahaan mengembalikan tanah adat mereka yang erat kaitannya dengan keberlanjutan budaya masyarakat.