Asia Pulp & Paper (APP) adalah perusahaan produsen bubur kertas (pulp) dan kertas terbesar di Indonesia dan Cina. Dengan sejarah deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mencengangkan, maka pengadopsian APP terhadap kebijakan “Nol deforestasi, nol pelanggaran HAM, nol gambut” pada tahun 2013 serta langkah perusahaan menghentikan penebangan hutan alam merupakan langkah besar menghentikan deforestasi di Indonesia. Akan tetapi belum cukup banyak perubahan yang terjadi di lapangan, dan lebih penting lagi, bagi masyarakat pemilik tanah adat dimana perusahaan beroperasi.
Petani di tanah adatnya di Lubuk Mandarsah, Jambi, Indonesia, yang berada di tengah konflik sosial dengan Asia Pulp & Paper.Telusuri lebih lanjut
Selama bertahun-tahun, APP dikenal sebagai “terburuk dari yang terburuk” di industri pulp dan kertas dalam konteks kerusakan hutan dan penggunaan lahan tanpa izin masyarakat. APP telah membuka lebih dari 2 juta hektar (lebih dari 7.700 mil persegi) dari 2.6 juta hektar bank tanahnya di Indonesia. Sebagian besar hutan tersebut, yang ditebang habis untuk kayu pulp atau dikonversikan mejadi hutan tanaman industri (HTI), terletak di lahan gambut yang kaya akan karbon yang juga merupakan habitat satwaliar terancam punah seperti harimau dan gajah. Lebih dari satu juta hektar lahan yang telah dibuka dikembangkan menjadi perkebunan monokultur eukaliptus dan akasia. Sekitar setengah dari luasan ini terletak di lahan gambut. Selain warisan kerusakan lingkungan dan emisi iklim, APP juga memiliki sejarah konflik sosial dan kerugian terhadap masyarakat, yang seringkali disebabkan oleh kegagalan memetakan dan mengeluarkan lahan milik masyarakat dari wilayah pembukaan dan pengembangan perkebunan. Hal ini mengakibatkan intimidasi dan konflik (yang seringkali melibatkan kekerasan) dengan ratusan komunitas.
Truk besar pengangkut kayu sering melalui tanah milik masyarakat untuk mengangkut kayu hasil panen dari HTI, merusak jalan dan menutupi rumah di tepi jalan dengan debu. Telusuri lebih lanjut
Dampak lingkungan dan sosial yang sangat parah ini telah mendapatkan perhatian dari dunia internasional, dimana LSM terkemuka seperti Rainforest Action Network (RAN), WWF, Friends of the Earth, Greenpeace serta masyarakat sipil Indonesia mengadakan kampanye untuk memprofilkan dan mendorong agar hubungan bisnis dengan perusahaan nakal ini dihentikan. Pada tahun 2007, Forest Stewardship Council (FSC) melakukan disasosiasi dari APP setelah dikemukakan bahwa APP menebang habis wilayah yang diketahui merupakan habitat hutan penting. Pasar dunia mencatat hal tersebut dan perusahaan besar, termasuk diantaranya Disney, Mattel, Harper Collins, Office Depot, membatalkan kontrak dengan estimasi nilai lebih dari 800 juta dolar.
““Kita laju, ya terus. Sampai lahan ini … bebas dari semuanya ini, udah hak milik kami.” -Ibu Nurhotmahsari, Desa Lubuk Mandarsah, Jambi. Telusuri lebih lanjut
Untuk menanggapi pembatalan besar-besaran ini, APP mengakui bahwa mereka harus berubah, dan pada bulan Februari 2013 APP mengadopsi komitmen menghapus kerusakan hutan, pelanggaran HAM dan penebangan di lahan gambut dari operasinya. Sejak 2013 sudah terdapat beberapa kemajuan, antara lain sebagian besar deforestasi dan ekspansi perkebunan di lahan gambut telah dihentikan. Akan tetapi masih ada kekhawatiran besar. Belum lama ini APP merampungkan pembangunan salah satu pabrik pulp dan kertas terbesar di dunia, yaitu pabrik OKI di Sumatera Selatan. Akan tetapi APP tidak memiliki pasokan bahan baku atau serat yang memadai untuk pabrik tersebut. Hal ini menunjukkan adanya risiko besar perusahaan akan melanjutkan ketergantungannya dari pengeringan lahan gambut dan perluasan basis seratnya, yang membawa risiko besar konflik sosial baru serta deforestasi yang lebih luas.
“Kita melihat mereka Asia Pulp & Paper sudah merusak dari komitmen itu” – Frandody Taruna Negara, Desa Lubuk Mandarsah, Indonesia.Telusuri lebih lanjut
Selain itu, sejarah APP dalam perampasan lahan, pelanggaran hak dan kerugian sosial terus menjadi masalah besar. Terdapat ratusan masyarakat yang saat ini mencari penyelesaian atas pemanfaatan dan pembukaan hutan adat dan ladang mereka yang tidak disertai izin masyarakat yang bersangkutan. Salah satu contoh terburuk dari konflik sosial yang masih berlanjut di perkebunan APP adalah kasus di Desa Lubuk Mandarsah, yang dikisahkan dalam situs ‘Beyond Paper Promises’. Berikut adalah rangkuman kasusnya.
Desa Lubuk Mandarsah di Provinsi Jambi, Sumatera adalah desa pertanian yang dihuni sekitar 6.000 penduduk etnis Melayu. Mereka bergantung pada tanaman pertanian padi, sayur mayur dan kopi untuk dikonsumsi sendiri dan juga untuk pendapatan tunai. Pada tahun 2006 APP memulai kegiatannya di wilayah ini, membuka ladang dan membuang batang pohon hasil tebangan di badan sungai yang sempit. Masyarakat memprotes, mengajukan pengaduan dan melakukan demo di kantor pemerintahan setempat. Saat aksi masyarakat tidak menunjukkan hasil dan pembukaan lahan terus terjadi, warga mengambil tindakan dengan langsung melumpuhkan alat berat. Sembilan warga ditahan dan dipenjarakan selama 15 bulan. Hal ini tidak menghentikan tekad masyarakat. Setelah APP melakukan siklus panen pohon eukaliptus yang pertama, warga kembali ke wilayah tersebut dan merebut kembali lahan mereka dengan menanam tanaman pertanian di lahan yang saat itu terbuka.
Di Desa Lubuk Mandarsah, Jambi, berladang bukan hanya suatu jalan hidup, namun juga merupakan suatu tindakan perlawanan.Telusuri lebih lanjut
Konflik ini mencapai puncaknya yang tragis pada tanggal 8 Februari 2015. Masyarakat Lubuk Mandarsah, yang sebelumnya telah aktif melakukan penanaman dan berladang di wilayah yang disengketakan, sedang merencanakan panen raya. APP telah diberitahukan mengenai kegiatan ini dan setuju mengizinkan masyarakat bebas melewati pos pengecekan keamanan yang digunakan perusahaan untuk mengawasi lalu lintas keluar masuk kawasan tersebut. Pada sore hari itu, Indra Pelani, seorang aktivis muda setempat, hendak melewati pos untuk menghadiri panen raya. Saat Indra tiba, terjadi cekcok dengan petugas keamanan dan Indra Pelani tidak pernah tiba di acara panen raya. Keesokan harinya jenazah Indra ditemukan dengan tangan dan kaki terikat, dipukuli hingga tewas.
Indra Pelani, aktivis/petani yang dibunuh. Foto oleh: Walhi Jambi. Telusuri lebih lanjut
Pembunuhan ini dikecam oleh media nasional dan internasional. APP menangguhkan kegiatan dengan pihak keamanan di wilayah tersebut, dan tidak mengganggu masyarakat sejak terjadinya pembunuhan. Petugas keamanan menyerahkan diri ke polisi dan saat ini mendekam di penjara. Akan tetapi, sejak kejadian ini, tidak banyak yang berubah terkait konflik yang terjadi. Lebih dari 300 orang aktif berladang di atas lahan yang sudah mereka kelola dari generasi ke generasi, namun wilayah tersebut secara legal masih merupakan bagian dari konsesi APP. Petani masih hidup dalam rasa takut bahwa mereka akan kehilangan lahan, tanaman dan tempat tinggal yang telah mereka bangun.
APP harus memastikan bahwa konflik seperti ini tidak akan terjadi lagi, bahwa konflik yang berjalan akan diselesaikan dan bahwa kerugian yang telah dialami masyarakat segera ditanggapi dan diperbaiki. Klik disini untuk menelusuri lebih lanjut dan bertindak hari ini juga!