Summary
- Pada bulan September 2024, Harita Group mengumumkan komitmen mereka untuk secara permanen tidak melakukan kegiatan penebangan dan komersial di wilayah Masyarakat Adat Long Isun.
- Kelompok masyarakat sipil setempat menyambut baik pengumuman tersebut dan menegaskan kembali pentingnya mendapatkan pengakuan hukum atas hutan adat Long Isun.
- Perusahaan-perusahaan besar harus terus terlibat dengan Harita Group untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut menjunjung tinggi komitmennya untuk tidak beroperasi di wilayah adat Long Isun. Komitmen ini juga seharusnya berlaku untuk seluruh anak perusahan Harita Group yang bergerak di bidang perkayuan agar memohon pengurangan konsesi HPH Harita group yang berada di wilayah adat Long Isun dari konsesi mereka.
Setelah bertahun-tahun mendapat tekanan, Harita Group mengeluarkan pernyataan terbaru pada bulan September 2024 yang mengumumkan komitmen mereka untuk secara permanen tidak melakukan kegiatan penebangan kayu dan komersial di wilayah adat Long Isun. Pencapaian penting ini merupakan bukti kekuatan perjuangan masyarakat Long Isun yang selama bertahun-tahun konsisten mempertahankan tanah, hutan, dan cara hidup mereka yang bergantung pada hutan.
Kelompok masyarakat sipil setempat menyambut baik pengumuman tersebut dalam sebuah siaran pers dan menegaskan kembali pentingnya untuk mendapatkan pengakuan hukum atas hutan adat Long Isun. “Kami menyambut baik keputusan Harita Group untuk tidak melakukan penebangan di wilayah Long Isun, namun ini baru permulaan. Kami akan terus bekerja sama dengan masyarakat Long Isun untuk memastikan bahwa komitmen ini dihormati dan tidak ada lagi eksploitasi lebih lanjut atas tanah mereka. Keberlanjutan yang sejati hanya mungkin terjadi jika hak-hak masyarakat adat dilindungi dan masyarakat Long Isun mendapatkan pengakuan hukum atas hutan adat mereka,” ujar Martha Doq, Direktur Eksekutif Perkumpulan Nurani Perempuan, sebuah organisasi masyarakat adat yang berbasis di Samarinda dan bermitra dengan masyarakat Long Isun.
Pada bulan Februari 2023, Rainforest Action Network bersama dengan mitra lokal Perkumpulan Nurani Perempuan dan lembaga masyarakat sipil lainnya di Kalimantan Timur mengangkat kasus hutan adat milik Masyarakat Adat Dayak Bahau di Long Isun yang masih berada di bawah ancaman perusahaan penebangan kayu di hulu Sungai Mahakam. Masyarakat Long Isun bergantung pada hutan dan tanah mereka untuk segalanya. Menghancurkan hutan berarti menghancurkan penghidupan dan cara hidup masyarakat.
Dua perusahaan penebangan kayu yang mengancam wilayahnya, PT. Kemakmuran Berkah Timber (PT. KBT) dan PT. Roda Mas Timber Kalimantan (PT. RMTK), sama-sama berada di bawah kendali konglomerat Indonesia, Harita Group. Kedua perusahaan tersebut selama lebih dari satu dekade dikritik karena kegagalan mereka menghormati keputusan masyarakat yang menolak penebangan kayu di wilayah adat Long Isun dan menyerahkan kembali kawasan konsesi kepada masyarakat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur juga menekankan bahwa pengumuman ini merupakan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mempercepat dukungan terhadap hak-hak masyarakat adat. “Komitmen dari perusahaan ini seharusnya mendorong tindakan proaktif dari pemerintah daerah untuk mempercepat proses pengakuan masyarakat Adat Long Isun dan mendorong pemerintah pusat untuk segera menetapkan wilayah Adat Long Isun sebagai wilayah indikatif hutan adat,” ujar Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Timur dalam siaran pers bersama.
“Meskipun ini merupakan tonggak penting, namun ini hanyalah awal dari perjalanan yang lebih panjang. Walhi Kaltim tetap berkomitmen untuk terus bekerja bersama masyarakat Long Isun untuk memastikan bahwa hak-hak mereka dihormati secara penuh di lapangan, bukan hanya di atas kertas. Kami akan terus memantau pelaksanaan pengakuan ini untuk mencegah perambahan lebih lanjut oleh industri dan memastikan bahwa masyarakat tetap memegang kendali penuh atas tanah mereka.”
Permintaan masyarakat melebihi janji di atas kertas
Pada tahun 2014, konflik besar meletus ketika PT. KBT mulai menebang hutan adat masyarakat Long Isun tanpa Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA). Para pemimpin masyarakat mengambil sikap untuk mempertahankan hutan mereka dan dihadapkan pada intimidasi dan kriminalisasi. Kegiatan penebangan di lapangan berhenti setelah konflik meningkat pada akhir tahun 2014 dan sebuah kesepakatan dicapai pada tahun 2018 dengan dibuatnya komitmen dari PT. KBTーsalah satu dari dua perusahaan tersebutーuntuk melakukan moratorium penebangan. Namun Masyarakat Adat Long Isun tetap sangat khawatir bahwa di masa depan PT. KBT dan/atau PT. RMTK akan kembali menebang hutan-hutan tersebut atau mencari keuntungan dari konsesi mereka melalui skema komersil lain dengan mengorbankan hak-hak Masyarakat Adat Long Isun. Kekhawatiran ini muncul karena perusahaan-perusahaan tersebut masih memiliki konsesi yang dialokasikan oleh pemerintah yang memberikan mereka hak untuk menebang 21.443 hektar hutan yang berlokasi di dalam wilayah adat masyarakat Long Isun.
Masyarakat Long Isun terus mengupayakan pembatalan permanen atas izin PT. KBT dan PT. RMTK yang melakukan kegiatan penebangan kayu di dalam wilayah adat mereka sementara melanjutkan advokasi untuk mendapatkan pengakuan hukum atas wilayah dan hutan adat mereka yang akan melindungi tanah dan hutan mereka dalam jangka panjang.
Masyarakat juga menyerukan kepada Harita Group untuk mendukung permintaan masyarakat Long Isun atas pengakuan hutan adatnya dengan mengirimkan permohonan kepada pemerintah untuk mengeluarkan wilayah adat Long Isun dari konsesi kayu PT. KBT dan PT. RMTK. Permohonan untuk merevisi area konsesi ini dapat mempercepat proses hukum pengakuan wilayah adat Long Isun karena klaim masyarakat wilayah adat mereka tidak lagi tumpang tindih, atau diganggu gugat, oleh konsesi kayu.
A portrait of Long Isun Indigenous community members posing with a poster that says “Recognize Long Isun’s Indigenous Forest” in front of the traditional Lamin of the Dayak Bahau Long Isun community. Photo taken in Long Isun village, July 2022. Photo by Khairul Abdi.
Harita Group berkomitmen untuk menghentikan semua kegiatan di wilayah adat Long Isun
Menanggapi kampanye RAN, pada bulan Oktober 2023, Harita Group melalui perusahaan kayunya PT. RMTK, serta melalui bisnis kelapa sawitnya Bumitama Agri “berkomitmen untuk menghentikan kegiatan penebangan (mempertahankan status quo) di wilayah yang diklaim oleh masyarakat Long Isun sebagai tanah adat kampung Long Isun.” Karena fakta bahwa komitmen terhadap moratorium adalah penangguhan penebangan di satu konsesi – bukan pembatalan permanen penebangan di wilayah-wilayah yang berkonflik di dalam kedua konsesi kayu tersebut – dan kerumitan yang disebabkan oleh ketidaktepatan batas-batas administratif desa bagi komunitas-komunitas yang disebutkan, maka pernyataan tersebut merupakan sebuah langkah yang positif, namun tidak memberikan ketenangan yang diinginkan oleh RAN.
Setelah komunikasi lebih lanjut, pada bulan September 2024, Harita Group mengeluarkan pernyataan terbaru yang mengumumkan komitmen PT. KBT dan PT. RMTK untuk “menghindari kegiatan komersial apapun” di wilayah Adat Long Isun dan bahwa “kawasan tersebut ditandai sebagai zona terlarang untuk menghindari potensi peningkatan sengketa lahan yang ada.”
Pernyataan tersebut selanjutnya mengatakan bahwa “PT KBT dan PT RMTK mengakui bahwa masyarakat Long Isun telah menolak memberikan Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC) atas setiap operasi penebangan” dan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah mengeluarkan wilayah Adat Long Isun dari Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK).
Perusahaan kayu Harita Group juga menegaskan kembali komitmen mereka untuk “menghindari aktivitas komersial apa pun di wilayah Kampung Long Isun dan wilayah yang diklaim sebagai wilayah adat Long Isun yang tumpang tindih dengan batas administratif Naha Aruq”. Hal ini penting karena adanya ketidaktepatan batas administrasi desa Naha Aruq yang memasukkan sebagian wilayah adat masyarakat Long Isun ke dalam wilayah desa yang telah ditetapkan oleh pemerintah kabupaten.”
Komitmen publik yang dibuat oleh PT. KBT, PT. RMTK – dan para penerima manfaat dari Grup Harita – untuk menghormati hak-hak adat masyarakat Long Isun dan secara permanen tidak melakukan penebangan hutan di wilayah mereka telah disambut baik oleh RAN.
Dalam lanskap dimana pelanggaran hak masyarakat dan konflik lahan merupakan hal yang biasa terjadi, komitmen Harita Group untuk menghentikan semua operasi bisnisnya di wilayah adat Long Isun sebagai bentuk pengakuan atas keputusan masyarakat untuk menolak merupakan kemenangan yang penting bagi masyarakat Long Isun dan hak masyarakat adat di seluruh dunia. Komitmen ini menjawab sebagian kekhawatiran yang telah ada selama bertahun-tahun mengenai niat perusahaan untuk beroperasi di wilayah Long Isun di masa depan.
Sayangnya, pernyataan tersebut tidak menyebutkan komitmen perusahaan untuk terlibat dalam proses hukum dengan pemerintah kabupaten dan nasional di Indonesia yang dapat mengeluarkan wilayah Long Isun dari izin konsesinya.
Pemerintah Indonesia memang pemegang otoritas tertinggi dalam memberikan amandemen terhadap izin usaha apa pun, tetapi perusahaan pemegang izin sebetulnya bisa mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk mengurangi area konsesinya seperti yang diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Jika perusahaan serius untuk menghentikan semua operasi bisnis di wilayah adat Long Isun dan mendukung upaya masyarakat menuju pengakuan hukum atas hutan adat mereka, perusahaan seharusnya mengajukan permohonan ini kepada pemerintah untuk memulai proses hukum. Langkah ini akan menjadi sangat penting dan dapat mendukung percepatan pengakuan hukum masyarakat adat Long Isun.
Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat sangat dibutuhkan
Dalam upaya advokasinya, Masyarakat Adat Long Isun juga telah mengajukan petisi kepada pemerintah untuk mengakui wilayah adat mereka sebagai langkah awal untuk mendapatkan hak hutan adat mereka dari pemerintah Indonesia. Karena hak tersebut akan memberi mereka kepemilikan sah dan hak pengelolaan atas wilayah adat mereka. Masyarakat telah menunggu lebih dari lima tahun untuk mendapatkan kepastian dari pemerintah kabupaten Mahakam Ulu.
Tahun lalu, Provinsi Kalimantan Timur melakukan revisi rencana tata ruang periode 2023-2042 yang mencakup konversi kawasan hutan seluas 469.083 hektar menjadi kawasan area penggunaan lain yang akan tumpang tindih dengan ratusan wilayah konsesi perusahaan pertambangan dan kehutanan. Bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan Nol Deforestasi,Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Ekploitasi (NDPE), Provinsi Kalimantan Timur akan terus menjadi wilayah pemasok komoditas yang berisiko tinggi. Perusahaan harus mendukung percepatan pengakuan hak Masyarakat Adat dan penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dan pemasok yang punya kegiatan usaha di Kalimantan Timur untuk menghindari pelanggaran kebijakan mereka sendiri.
Kegagalan perusahaan merek dalam mengambil tindakan tegas untuk Menjaga Hutan Long Isun
Merek-merek konsumen global seperti Kao, Nissin Foods, Procter & Gamble, Mondelēz, Colgate-Palmolive, PepsiCo, dan Nestlé telah menutup mata dengan tetap membeli dari perusahaan kelapa sawit milik Grup Harita, yaitu Bumitama Agri. Sejumlah merek bahkan menolak untuk menerima dan menanggapi keluhan ini karena keterbatasan dalam kebijakan dan mekanisme pengaduan mereka yang gagal untuk meminta pertanggungjawaban pemasok mereka di seluruh operasi seluruh grup perusahaan tempat mereka berbisnis.
Sebaliknya, Unilever menerima keluhan tersebut dan mengadvokasi perubahan dengan Harita Group. Nissin Foods juga menanggapi secara publik pengaduan tersebut dengan menyatakan bahwa “tidak ada transaksi yang sedang berlangsung saat ini” dengan Bumitama, namun bagaimana perusahaan tersebut telah melakukan transaksi dengan Bumitama masih tidak jelas karena tidak ada pengungkapan mengenai transaksi yang sedang berlangsung, penangguhan, atau tidak adanya daftar jual beli.
Komitmen publik yang dikeluarkan oleh PT. KBT dan PT. RMTK menunjukkan bahwa tekanan yang diberikan oleh pembeli utama minyak kelapa sawit telah membuahkan hasil. Sekarang saatnya bagi semua merek untuk ikut mengambil tindakan.
Perusahaan merek harus terlibat dengan Harita Group untuk memastikan bahwa mereka menjunjung tinggi komitmennya untuk tidak memperluas operasi penebangannya ke dalam wilayah masyarakat Long Isun. Mereka harus melanjutkan keterlibatan mereka sampai PT. KBT dan PT. RMTK meminta secara hukum agar wilayah adat Long Isun dikeluarkan dari konsesi kayu mereka. Perusahan merek dan Harita Group juga memiliki peran penting dalam mengkomunikasikan dukungan mereka terhadap perlindungan jangka panjang hutan Long Isun kepada pemerintah nasional dan kabupaten untuk mempercepat pengakuan hukum atas wilayah dan hak Masyarakat Adat Long Isun untuk mengontrol dan mengelola hutan adat mereka.
Masyarakat Dayak Bahau di Long Isun hanyalah salah satu dari sekian banyak Masyarakat Adat yang berjuang untuk mempertahankan wilayah dan hutan adat mereka dari perusahaan produsen komoditas yang merisikokan hutan di bentang alam Mahakam Ulu. Perusahaan merek harus menjaga agar hutan di lanskap ini tetap utuh dengan memastikan rantai pasok dan investasi mereka tidak terkait dengan deforestasi dan pelanggaran hak atas tanah, baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Perusahaan merek juga dapat mendukung perlindungan jangka panjang terhadap hutan terakhir di Kalimantan dengan bekerja sama dengan pemerintah dan pemasok mereka untuk membuat program yang mempercepat pengakuan hukum atas wilayah adat dan hutan adat di Kalimantan Timur, mulai dari Kabupaten Mahakam Ulu.
Kita perlu melakukan semua yang kita bisa untuk mendukung pengelolaan hutan oleh Masyarakat Adat untuk memastikan keberlangsungan ekosistem yang berharga ini, melestarikan habitat satwa liar, dan memberdayakan masyarakat lokal.